Bahagia, Jauh dari Fitnah
عَنْ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ قَالَ ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
Dari Al Miqdad bin Al Aswad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Demi Allah! Aku telah mendengar rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah, Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah, Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah dan bagi orang yang diuji lalu bersabar, maka alangkah bagusnya.
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan imam Abu Daud dalam sunannya, kitab Al Fitan Wal Malaahim, Bab Fi Al Nahyi ‘An Al Sa’yi Fil Fitnah, no. 4263. 4/460 dan dishohihkan Al Albani dalam Al Misykah Al Mashoobih no. 5405 dan silsilah Ahadits Al Shohihah no. 975 dan shohih Sunan Abu Daud no. 4263. Syiekh menyatakan: Hadits ini diriwayatkan Abu daud (4263) dari Al Laits bin Sa’ad dan Abul Qaasim Al Hana’I dalam Al Tsaalits Minal Fawaa’id 1/82 dari Abdullah bin Sholih.
Kemudian syeikh menyatakan: Ini sanad yang shohih sesuai syarat Muslim.[1]
Syarah kosa kata.
– الْفِتَنَ bermakna fitnah
– فَوَاهًا adalah kata ungkapan ta’ajjub (kagum) bermakna alangkah bagusnya kesabaran orang yang sabar ketika tertimpa fitnah.[2]
Penjelasan Dan Faedah Hadits.
Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang mulia ini memuji dan menjelaskan kreteria orang yang bahagia, yaitu orang yang dijauhkan dari fitnah dan orang yang diuji dengan ujian namun bersabar.
Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut?
Bagaimana dijauhkan dan selamat dari fitnah?
Untuk itu perlu sekali mengenal ketentuan dasar dan penting dari Al Qur’an dan Sunnah yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Diantaranya:
Allah berfirman:
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Al Tholaq 65:2-3)
bermakna Allah berikan jalan keluar dari seluruh fitnah, bencana dan kejelekan didunia dan akherat. Allah juga berfirman:
Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Al Tholaq 65:4)
Ketika terjadi fitnah dizaman Tabi’in, sebagian orang yang baik mendatangi Tholq bin Habieb dan menyatakan bahwa telah terjadi fitnah dan bagaimana menyelesaikannya? Beliau menjawab dengan pernyataan: Berlindunglah darinya dengan takwa!
Mereka bertanya: Jelaskan kepada kami apa takwa (yang engkau maksudkan)?
Beliau menjawab: Takwa kepada Allah adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah diatas cahaya dari Allah dan mengharap rahmatNya dan meninggalkan kemaksiatan diatas cahaya dari Allah dan takut dari adzabNya.(diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya [3]
Syeikh Abdurrazaq Al Abaad menyatakan: Dengan demikian jelas bahwa ketakwaan tidak semata kata-kata yang diucapkan seseorang dengan lisannya atau dakwaan yang disampaikan seseorang. Sebenarnya ketakwaan adalah kesungguhan dan ijtihad serta membimbing jiwa untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang Ia ridhoi. Juga menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Siapa yang memiliki hal ini maka ia –insya Allah- mendapatkan akibat dan akhir yang baik. [4]
Imam Malik telah berkata: “Sunnah Nabi adalah perahu Nabi Nuh, siapa yang menungganginya maka selamat dan siapa yang meninggalkannya maka binasa dan tenggelam”.[6]
Hal ini dijelaskan Rasululloh dalam hadits Al ‘Irbaadh bin Saariyah yang berbunyi:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Karena siapa yang hidup setelahku dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk konsisten dengan sunnahku dan Sunnah para penggantiku yang berilmu dan beramal (Khulafa’ Al Mahdiyyin al Rasyidin). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi graham. Berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR Abu Daud, Al Tirmidzi dan selainnya)
Syeikh Abdurrazaq Al ‘Abad menyatakan: ‘Keselamatan ketika terjadi perselisihan dan selamat dari fitnah hanya ada dengan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, menjauhi hawa nafsu dan kebidahan dan berhukum dengan Sunnah pada dirinya dalam perkara yang ia lakukan dan tinggalkan baik berupa gerakan, diam, tegak, duduk dan seluruh sisi kehidupannya. Siapa yang keadaaannya demikian maka insya Allah akan terlindungi dan terjaga dari seluruh kejelekan, bencana dan fitnah. Sedangkan orang yang membiarkan dirinya bebas dan membiarkan hawa nafsunya menjadi pengendali maka ia telah menjerumuskan dirinya dan orang lain dari hamba Allah dalam kejelekan’[7].
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud berkata: “Akan muncul perkara musytabihat (samara-samar), maka kalian harus berlaku pelan-pelan, karena kamu menjadi pengikut dalam kebaikan lebih baik dari menjadi pemimpin dalam kejelekan”. [8]
Sungguh orang yang terburu-buru mengatasi permasalahan dan tidak sama sekali mengambil cara perlahan-lahan membuka pintu kelejelekan untuk dirinya dan orang lain dan bertanggung jawab atas dosanya dan menuai hasil buruk. Dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasululloh shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
Sungguh ada diantara orang yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejelekan dan sungguh ada diantara orang yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci pembuka kebaikan melalui tangannya dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci pembuka kejelekan melalui tangannya. (HR Ibnu Majah)
Seorang yang berakal senantiasa berhati-hati, melihat jauh kedepan, sabar, lembut dan perlahan serta jauh dari sikap ngawur, tergesa-gesa dan nekat. Karena ketergesaan, nekat dan sikap ngawur hanya memberikan akibat buruk dan bahaya serta hasil yang jelek.[9]
Diantaranya sabda Rasululloh shallallahu alaihi wasallam :
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Jamaah itu rahmat dan perpecahan itu adzab. (HR Ahmad dan Syeikh Al Albani menilainya hadits yang hasan dalam Shohih Al Jaami’ no. 3109) dan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :
لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
Janganlah berselisih, karena orang sebelum kalian berselisih lalu binasa (HR Al Bukhori).
Demikian juga beliau shallallahu alaihi wasallam mewasiati kaum muslimin untuk bersatu dan konsisten dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Al Irbadh bin Saariyah yang berbunyi:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
Rasululloh mengimami kami sholat pada satu hari, kemudian beliau menghadap kami dan memberikan nasehat yang menyentuh; membuat mata meneteskan air mata dan hati-hati bergetar. Maka seorang berkata: Wahai rasululoh! Seakan-akan nasehat ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Maka beliau bersabda:Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan patuh, walaupun (yang memimpin) adalah budak habasyi (HR Abu Daud dan Al Tirmidzi dan selainnya)
Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits ini menyatukan sebab-sebab kebahagian dunia dan akherat dalam dua perkara yang tidak ada ketiganya, yaitu:
Pertama: Konsisiten dalam ketakwaan
Kedua: Konsisten berpegang teguh jamaah muslimin dan mentaati imam mereka.
Harus melaksanakan dua ketentuanpokok ini diatas pemahaman salaf Ash Sholih. Inilah salah satu pelindung kita dari fitnah-fitnah –dengan idzin Allah- dan inilah jalan persatuan ketika terjadi perpecahan.[10]
Mengambil ilmu dan fatwa dari ulama besar dan tidak mengambil dari orang-orang kerdil yang baru menimba ilmu. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ
Barokah ada bersama tokoh-tokoh tua mereka. (HR Ibnu Hiban, Al Hakim, Abu Nu’aim dan Al baihaqi dalam Syu’abul iman. Syeikh Al Albani menilai hadits ini shohih dalam Shohih Al Jami no. 2884, Silsilah Al Ahadits Shohihah no.1778 (4/380)).
Barokah ada bersama tokoh-tokoh tua mereka yang telah kokoh dalam ilmu dan telah lama menuntutnya serta mereka telah mendapatkan kedudukan pada umat dengan sebab ilmu, hikmah yang luhur, sikap perlahan dan pandangan uang jauh kedepan yang Allah karuniakan pada mereka. Kita diperintahkan mengambil ilmu dan fatwa dari mereka sebagaimana firman Allah:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (QS. 4:83)
Syeikh Abdurrahman Al Sa’di menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: ‘ini adalah pelajaran dari Allah kepada hambaNya atas kelakuan mereka yang tidak pantas. Seharusnya mereka bila mendapatkan perkara penting atau kemaslahatan umum yang berhubungan dengan keamanan dan kebahagian kaum mukminin atau kekhawatiran yang menjadi musibah bagi mereka, hendaknya mengadakan klarifikasi dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut. Seharusnya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dan ulul amri mereka yaitu para ulama yang mengetahui perkara dan mengetahui kemaslahatan dan madhoratnya (untuk masyarakat)’. [11]
Imam Al Ashbahani menegaskan pentingnya hal ini dalam pernyataan beliau: ‘Siapa yang melihat dengan pandangan adil, niscaya mengetahui tidak ada seorangpun yang paling jelek madzhabnya dari orang yang meninggalkan firman Allah, sabda Rasululloh, pendapat para sahabat dan pendapat para ulama dan ahli fiqih setelah mereka (Sahabat) dari mereka yang membangun madzhab dan agamanya diatas kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah RasulNya shallallahu alaihi wasallam dan mengikuti orang yang alim terdahap Al Qur’an dan Sunnah RasulNya shallallahu alaihi wasallam . bagaimana ia merasa aman tidak menjadi pengikut syeitan’[12].
Barang siapa yang merujuk dan menyerahkan kepada mereka maka aman dari fitnah dan mendapat akibat baik.
Dialah yang berfirman:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. 2:186)
Sebab diantara sebab munculnya fitnah adalah munculnya kesyirikan dan kemaksiatan, sehingga sudah seharusnya ketika muncul fitnah, kita kembali bertaubat dan memanjatkan do’a kepada Allah untuk menghilangkannya.
Imam Al Hasan Al Bashri dahulu menyatakan: ‘Sungguh Al Hajjaj adalah adzab Allah, maka janganlah menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian. Namun hendaknya kalian beribadah dan memanjatkan do’a dengan kerendahan diri, karena Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. (QS. 23:76).[13]
Hendaknya memperbanyak do’a kepada Allah agar dihilangkan fitnah yang ada sebagaimana dilakukan kaum nabi Yunus yang Allah ceritakan dalam firmanNya:
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfa’at kepadanya selain kaum Yunus Tatkala mereka (kaum Yunus itu),beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai pada waktu yang tertentu. (QS. Yunus 10; 97-98).
Ibnu Katsier dalam menafsirkan ayat ini menyatakan: ‘Yang dimaksud, tidak ada satu (penduduk) satu kota yang beriman seluruhnya kepada nabi mereka dari (penduduk ) satu kota terdahulu kecuali kaum nabi Yunus, iman mereka hanya karena takut datangnya adzab yang telah rasul mereka peringatkan setelah mereka mengerjakan sebab-sebabnya (adzab) dan rasul mereka (Yunus) pergi meninggalkan mereka. Lalu ketika itu mereka berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah, memohon pertolongan, menrendahkan diri dan tunduk serta mengeluarkan anak-anak, binatang ternak dan gembalaan mereka dan memohon kepada Allah untuk menolak adzab yang telah diperingatkan nabi mereka . ketika itu pulalah Allah merahmati mereka dan menghilangkan adzab dari mereka dan mengakhirkan mereka.[14]
Demikianlah diantara perkara yang harus diperhatikan seseorang agar terhindar dari fitnah.
Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah yang tampak dan tersembunyi. Wallahu a’lam.
Referensi
[1] Silsilah Al Ahadits Al Shohihah 2/703
[2] lihat ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud
[3] Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005-Rabiul awal 1426H edisi 10 hal 18
[4] ibid
[5] makalah Asbab Al Wiqayah Minal Fitan, Syeikh Abdullah Al ‘Ubailan dalam Majalah Ummatie, Kuwait, edisi 16- bulan Desember 2005-Dzul Qa’dah 1426H hal 6
[6] Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005-Rabiul awal 1426H edisi 10 hal 18
[7] ibid
[8] Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005-Rabiul awal 1426H edisi 10 hal 18
[9] dari pernyataan Syeikh Abdurrazaq bin ABdilmuhsin Al ‘Abad dalam Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005-Rabiul awal 1426H edisi 10 hal 18
[10] Al Fitnah Wa Mauqif Al Muslim Minha, DR. Muhammad bin Abdulwahab Al ‘Aqiel, hal.100-101
[11] Taisir Al Kariem Al Rahman
[12] Al Hujjah Fi Bayan Al Mahajjah 1/311
[13] dibawakan dalam makalah Asbab Al Wiqayah Minal Fitan, Syeikh Abdullah Al ‘Ubailan menukil dari pernyataan Ibnu Taimiyah.
[14] Tafsir ibnu katsir 2/414
Beri Komentar