Info Pondok
Sunday, 08 Dec 2024
  • Pondok pesantren ibnu abbas sragen yang beralamatkan di Beku Kliwonan Masaran Sragen Jawa Tengah

3 Pesan Agung Dari Nabi Muhammad

Diterbitkan : - Kategori : Hadits / Ustadz Kholid Syamhudi

Allah telah memberi karunia kepada Nabi kita keindahan dalam ungkapan, kedalaman dalam wasiatnya, kesempurnaan dan keelokan perkataan. Barang siapa mempunyai hubungan ikatan yang kuat dengan sunnah dan petunjuk Nabi, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat. Sejenak bersama sebuah wasiat Rasûlullâh yang ringkas dan menyentuh serta berisi semua kebaikan padanya.

Disebutkan di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ibnu Mâjah dari hadist Abu Ayyub Al-Anshôri, beliau berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu berkata: ”Nasihatilah aku dan persingkatlah!” dalam riwayat lain disebutkan: “ Ajarilah aku dan persingkatlah!”. Beliau bersabda:

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ»

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti shalat orang yang berpisah dan janganlah mengatakan sesuatu yang akan membuatmu minta maaf darinya dan berputusalah terhadap apa yang ada di tangan manusia.”[1]

Hadist ini hadist hasan dengan sebab penguat-penguatnya.

Hadist yang mulia ini berisi tiga wasiat agung yang mengumpulkan semua kebaikan. Barangsiapa yang memahaminya dan mengamalkannya, niscaya mendapatkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat.

Wasiat pertama : Wasiat untuk mendirikan shalat, memperhatikan dan melaksanakannya dengan baik.

Wasiat kedua : Wasiat menjaga dan menahan lisan

Wasiat ketiga : Ajakan memiliki sifat Qona’ah dan menggantungkan hati hanya pada Allâh.

Dalam wasiat pertama, Nabi menyeru bagi orang yang memulai pelaksanaan shalat supaya melaksanakannya seperti shalat perpisahan (terakhir kali). Sudah dimaklumi orang yang akan berpisah akan menghayati perkataan dan perbuatan yang tidak dapat dilakukan orang lain. Ini sudah ada pada perjalanan dan perpindahan mereka. Orang yang berpindah dari sebuah negeri dengan harapan kembali lagi berbeda keadaannya dengan orang yang berpindah dengan tidak berharap kembali lagi. Orang yang akan berpisah selamanya akan merasakan yang tidak dirasakan orang lain.

Apabila seorang hamba shalat dengan mengingat sholatnya tersebut shalat terakhir dan merasa tidak akan pernah shalat lagi, maka dia akan bersungguh-sunguh mengerjakannya, memperbagus pelaksanaannya dan melakukan rukû’, sujud atau kewajiban dan sunnah-sunnah shalat lainnya dengan seksama.

Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin untuk mengingat wasiat ini pada setiap shalat yang dikerjakannya. Mengingat shalat orang yang akan berpisah dan merasakan di dalamnya inilah shalat yang terakhir, tidak ada lagi sholat setelahnya. Apabila merasakan hal itu, maka perasaan tersebut akan membawa perbaikan dalam pelaksanaan dan kesempurnaannya.

Barangsiapa yang memperbagus shalatnya maka shalatnya tersebut mengarahkannya pada kebaikan dan menjauhkannya dari semua keburukan dan kehinaan. Hatinya dipenuhi dengan keimanan, dia pun merasakan manisnya iman. Jadilah Shalatnya penyejuk matanya, tempat istirahat, hiburan dan kebahagiannya.

Wasiat yang kedua: adalah wasiat untuk menjaga lisan. Sesungguhnya lisan sesuatu yang paling berbahaya yang ada pada manusia. Perkataan itu apabila belum diucapkan, masih dalam kekuasaan pemiliknya. Apabila perkataan itu telah keluar diucapkan dari lisan seseorang, maka perkataan tersebut menguasai pemilikinya dan harus sabar menanggung akibat dari perkataan yang diucapkannya tersebut. Oleh karenanya Nabi bersabda:

«لَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا»

“Janganlah mengatakan suatu perkataan yang membuatmu meminta maaf darinya”.

Maksudnya, bersungguh-sunguhlah menahan lisanmu dari setiap perkataan yang dikhawatirkan mengakibatkan kamu meminta maaf darinya dan yang akan menuntutmu untuk meminta maaf. Sesungguhnya jika engkau belum mengucapkan suatu perkataan, maka perkataan itu adalah milikmu, dan jika telah engkau ucapkan maka perkataan itu yang akan memilikimu (menguasaimu).

Dalam wasiat Nabi kepada Muadz bin Jabal, Nabi bersaba :

«أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى، يَا نَبِيَّ الله! فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ الله! وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ»

Maukah engkau aku beritahukan sesuatu (yang jika engkau laksanakan) dapat menguasai semua itu ?Saya berkata : Mau ya Rasûlullâh. Maka Rasûlullâh memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini. Saya berkata: Ya Nabi Allâh, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan? Beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkal di atas wajahnya atau di atas hidungnya di neraka selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. [2]

Lisan mempunyai bahaya yang begitu jelas dan telah ada sebuah hadist yang shahih dari Rasûlullâh, beliau bersabda:

«إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ؛ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا».

Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan mengingkari lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allâh terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng).[3]

Sabda Nabi kita dalam wasiat ini

»لَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا«

berisi ajakan untuk mengintrospeksi diri dari semua yang diucapkan dengan menimbang – nimbang apa yang akan diucapkan. Jika terdapat kebaikan maka dia ucapkan, jika terdapat keburukan maka dia menahannya dan jika yang akan diucapkan sesuatu yang meragukan tidak tahu apakah kejelekan atau kebaikan, hendaknya dia menahan lisannya sebagai bentuk kehati-hatian dari perkara yang meragukan sampai menjadi jelas. Oleh karena itulah Rasûlullâh bersabda:

«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

Barangsiapa beriman pada Allâh dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.[4]

Ironisnya, kebanyakan manusia tidak sadar telah menjerumuskan diri mereka pada perkara yang besar, hanya disebabkan sebuah perkataan lisan yang mereka anggap remeh. kemudian ucapan mereka itu mengakibatkan dampak buruk pada kehidupan dunia dan akhirat mereka. Orang yang berakal tentunya akan menimbang dan menjaga semua perkataannya dan tidak berkata kecuali sebagaimana yang disabdakan Rasûlullâh yaitu dengan perkataan yang tidak menuntutnya untuk meralat perkataannya dan meminta maaf darinya.

Dalam sabda Nabi «بكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا» mengandung dua makna. Makna yang pertama meminta maaf di hadapan Allâh kelak, atau yang kedua, meminta maaf pada manusia langsung ketika mereka menuntutmu akibat dampak dari perkataan dan ucapanmu.

Makna yang pertama ini mempunyai hubungan yang kuat dengan perkara sholat. Sebab dengan alasan apa yang disampaikan orang yang lalai dalam shalat kepada Rabb-Nya kelak (diakherat), padahal shalat adalah perkara yang pertama kali dihisab darinya.

Wasiat yang ketiga : Berisi ajakan untuk bersifat qona’ah, menggantungkan hati pada Allâh semata dan tidak berharap sama sekali dari semua milik orang lain.

Sabda Nabi:

»وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس»؛

Pengertiannya: Teguhkan hatimu, berazam dan bertekad untuk tidak berharap dari semua milik orang lain. Sehingga tidak berharap sesuatu dengan bersandar kepada mereka, namun berharaplah hanya pada Allâh semata. Jika dengan perkataanmu, tidak meminta kecuali hanya pada Allâh, begitu juga hendaknya dengan perbuatanmu tidak berharap kecuali hanya pada Allâh saja. Shalat itu merupakan sarana penghubung antara engkau dan Rabb-mu. Shalat itu merupakan faktor terbesar yang dapat menolongmu mewujudkan hal ini.

Siapa yang tidak berharap sama sekali dari yang dimiliki orang lain, maka dia hidup tentram dan mulia. Siapa yang bergantung kepada milik orang lain, maka dia akan hidup gelisah dan terhina. Barangsiapa hatinya bergantung pada Allâh dengan tidak berharap, memenuhi kebutuhannya dan bertawakkal hanya kepada Allâh, maka Allâh akan mencukupinya di dunia dan di akhirat.

Allâh berfirman:

(Bukankah Allâh yang mencukupi hambanya (Qs as-Zumar/39 : 36).

juga berfirman:

(Barangsiapa yang bertawakal pada Allâh maka dia akan mencukupinya (Qs ath-Thalaaq/65:3)

Semoga Allâh memberi kita taufik untuk melaksanakan tiga wasiat tersebut.

[1]Hadist riwayat Ahmad (23498), Ibnu Maajah (4171), Lihat As-Shohihah (401).

[2]Hadist riwayat Ahmad (22016), At-Tirmidzi (2616), dan Al-Albani menshohihkannya di dalam Shohihul Jaami’ (5136)

[3]Hadist riwayat Ahmad (11908), At-Tirmizi (2407) dari hadist Abi Said Al-Khudri rodhiyallahu’anhu. Dan Al-Albani menghasankannya dalam Shohih Al-Jaami’ (351)

[4]Hadist riwayat Al-Bukhori (6018), Muslim (47) dari hadis Abu Huroiroh rodhiyallahu’anhu

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Beri Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.