Info Pondok
Monday, 04 Nov 2024
  • Pondok pesantren ibnu abbas sragen yang beralamatkan di Beku Kliwonan Masaran Sragen Jawa Tengah

Hukum Daging Anjing dan Memeliharanya

Diterbitkan : - Kategori : Fiqih

Daging Anjing Halalkah?

Seiring dengan tingkat kemajuan dan meningkatkan kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu, maka banyak pula usaha yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimiliki untuk menggali segala yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui penelitian, pengkajian dan lain-lain, sehingga hasilnya nanti dapat membantu manusia memecahkan persoalan hidup yang terus berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Di antara berbagai macam persoalan yang seringkali menimpa manusia adalah persoalan kesehatan, makanan dan keuangan serta kesenangan. Secara alami manusia selalu mencari cara agar dapat bertahan guna memenuhi kebutuhan tersebut. namun persoalanya adalah sejauh mana cara yang dilakukan manusia tersebut berguna dan bermanfaat bagi dirinya tanpa harus melakukan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya persoalan hidup, akhirnya manusia berhadapan dengan jalan dimana mereka harus menentukan pilihan hidup. kemudian, manusia dituntut untuk mengambil sikap, jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini semakin kompleks dengan jauhnya mereka dari tuntunan ajaran islam yang suci, sehingga mereka mengambil kesenangan dan makanan tanpa melihat lagi kehalalan dan keharamannya.

Memelihara Anjing

Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang mengistimewakannya melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal memelihara anjing tanpa satu kebutuhaan, seperti menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim). ‘Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَيُّمَا أَهْلِ دَارٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَائِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim).

Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيْرَاطٌ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ

Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan Shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud), selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak.”
Ibnu Sirin dan Abu Shaleh mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِلاَّ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ

Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu.”

Abu Hazim mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَلْبَ صَيْدٍ أََوْ مَاشِيَةٍ

Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” (HR. Bukhari)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh).
iman An-Nawawi t memandang haramnya memelihara anjing sengan membuat bab dari kitab Riyadh ash-Shalihin, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman. (lihat Bahjah anNazhirin 3/187)

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan, “Adapun memelihara anjing dihukumi haram bahkan perbuatan semacam ini termasuk dosa besar –Wal ‘iyadzu billah-. Karena seseorang yang memelihara anjing selain anjing yang dikecualikan (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, pen), maka akan berkurang pahalanya dalam setiap harinya sebanyak 2 qiroth (satu qiroth = sebesar gunung Uhud).” (Syarh Riyadhus Shalihin

Najisnya Air Liur Anjing

Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwassanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda,

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ

Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka buanglah lalu cucilah 7 kali. (HR Bukhari no 418, Muslim no. 422). Didalam riwayat lainnya:

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salahsatunya dengan tanah.” (HR. Muslim 420 dan Ahmad 2/427)

Seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian ulama memandang levelnya adalah najis yang berat (mughallazhah). Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah. Siapa yang menentang hukum ini, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan kenajisan air liur anjing itu.

Prof. Thabaroh dalam kitab Ruuh ad-Din al-Islaami menyatakan: “Diantara hukum islam dalam perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiyah yang dimiliki islam yang mendahului kedokteran modern. Dimana kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, Karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusai dan menjadi sebab manusai menderita penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehinga wajib menjauhkanya dari semua yang memiliki hubungan dengan makanan dan minuman manusia.[1]

Hukum Jual Beli Anjing.

Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[2] Yang demikian itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.” [3]

Hukum Memakan Anjing

Berkembang dewasa ini disebagian kota di Negara ini, rumah makan dengan label “Sate Jamu” atau “Rica-rica jamu” yang memberikan pengertian rumah makan makanan dari daging anjing. Semaraknya ini masih didukung sebagian kelompok kaum muslimin yang menghalalkannya. Lalu bagaimana sebenarnya?

Mayoritas ulama muslimin mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.

1. Anjing terhitung dari As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, yaitu:

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berbunyi , bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ ذِي نَابَ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram. “[4]

Hadits ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan semua hewan buas yang bertaring.”[5]

Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, srigala, burung garuda, dan juga anjing haram dimakan.

2. Adanya larangan dari memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan bahwa :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun”. [6]

Kalau harganya terlarang, maka dagingnya pun haram.

Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu  maka (Allah) haramkan harganya atas mereka.”[7]

3. Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam:6/145)

Ayat ini adalah Makkiyah yang turun sebelum hijroh bertujuan membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan Al-Bahirah, As-Saa`ibah , Al-Washiilah dan Al-Haam. Kemudian setelah itu Allah dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighal dll. Termasuk didalamnya semua hewan buas yang bertaring.

Ayat diatas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan.

Syeikh Prof. DR. shalih bin Abdillah Al-fauzaan –Hafizhahullah– merajihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring menukilkan pernyataan syeikh Muhammad Al-Amien Asy-Syinqity yang menyatakan: Semua yang sudah absah pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahih dari Al-Qur`an atau As-Sunnah maka ia haram dan ditambahkan kepada empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, karena sesuatu yang diharamkan diluar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat tersebut tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman  sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru , maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama.[8]

Kebenaran  pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi dengan air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan memperngaruhi dagingnya. Padahal Rasululah n melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan hewan Al-Jilaalah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[9]

Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i.

Semoga  ini semua  dapat membantu menjelaskna permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing (kalb).

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Artikel www.UstadzKholid.com

****

Referensi:

 

  1. Bahjah an-Nazhirin syarah Riyadh as-Shalihin, Saalim bin Ied Al-Hilali, Dar ibnu Al-Jauzi.
  2. Ath’imah Syeikh Shalih bin Fauzan , Maktabah Al-Ma’arif
  3. Shahih fikih Sunnah, Abi Maalik Kamaal bin As-Sayyid saalim, Maktabah Taufiqiyah, mesir
  4. Taudhih al-Ahkaam Syarh al-Bulugh all-Maram, Syeikn Abdullah bin Abdurrahman Ali Basaam, Maktabah Al-Asadi.Makkah.

[1] Taudhih al-Ahkam, Syeikh Ali Basaam, 1/137.
[2] Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 6554
[3] Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, Al-Bukhari 7/28 dan Muslim no. 1567.
[4] HR. muslim 1933
[5] HR. Muslim no. 1934
[6] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu Dawud 3/753 nomor 3481. At-Tirmidzi 3/439 dan An-Nasaa-i VII/309 nomor 4666
[7] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Daud no.3488,
[8] Kitab al-Ath’imah hlm 56-60.
[9] HR at-Tirmidzi no. 1747.

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Beri Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.