Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc., M.Pd.
عَنْ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ قَالَ ايْمُ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
Dari al-Miqdad bin al-Aswad radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Demi Allah! Aku telah mendengar rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah dan bagi orang yang diuji lalu bersabar, maka alangkah bagusnya.
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan Imam Abu Daud dalam sunannya, kitab al-Fitan Wal Malaahim, Bab Fi al-Nahyi ‘an-Al Sa’yi Fil Fitnah, no. 4263. 4/460 dan dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah al-Mashoobih no. 5405 dan silsilah Ahadis al-Shohihah no. 975 dan shohih Sunan Abu Daud no. 4263. Syekh menyatakan: hadis ini diriwayatkan Abu daud (4263) dari al-Laits bin Sa’ad dan Abul Qaasim al-Hana’I dalam al-Tsaalits Minal Fawaa’id 1/82 dari Abdullah bin Sholih.
Kemudian syekh menyatakan: Ini sanad yang shohih sesuai syarat Muslim. (Silsilah al-Ahadits al-Shohihah 2/703)
Syarah Kosa Kata
– الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ
– الْفِتَنَ bermakna fitnah
– فَوَاهًا adalah kata ungkapan ta’ajjub (kagum) bermakna alangkah bagusnya kesabaran orang yang sabar ketika tertimpa fitnah. (lihat ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud)
Penjelasan dan Faedah Hadis
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang mulia ini memuji dan menjelaskan kriteria orang yang bahagia, yaitu orang yang dijauhkan dari fitnah dan orang yang diuji dengan ujian namun bersabar.
Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan tersebut?
Bagaimana dijauhkan dan selamat dari fitnah?
Untuk itu perlu sekali mengenal ketentuan dasar dan penting dari al-Qur’an dan sunah yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Di antaranya:
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ (٢) وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (٣)
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Tholaq 65:2-3)
Bermakna Allah berikan jalan keluar dari seluruh fitnah, bencana dan kejelekan di dunia dan akhirat. Allah juga berfirman:
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا (٤)
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. al-Tholaq 65:4)
Ketika terjadi fitnah di zaman Tabi’in, sebagian orang yang baik mendatangi Tholq bin Habieb dan menyatakan bahwa telah terjadi fitnah dan bagaimana menyelesaikannya? Beliau menjawab dengan pernyataan: “Berlindunglah darinya dengan takwa!”
Mereka bertanya: “Jelaskan kepada kami apa takwa (yang engkau maksudkan)?”
Beliau menjawab: “Takwa kepada Allah adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan mengharap rahmat-Nya dan meninggalkan kemaksiatan di atas cahaya dari Allah dan takut dari azab-Nya.”(diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya (Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005 Rabiul Awal 1426H edisi 10 hal 18))
Syekh Abdurrazaq al-Abaad menyatakan: Dengan demikian jelas bahwa ketakwaan tidak semata kata-kata yang diucapkan seseorang dengan lisannya atau dakwaan yang disampaikan seseorang. Sebenarnya ketakwaan adalah kesungguhan dan ijtihad serta membimbing jiwa untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang Ia ridhoi. Juga menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Siapa yang memiliki hal ini maka ia –insya Allah- mendapatkan akibat dan akhir yang baik. (Ibid)
2. Komitmen, konsisten, dan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunah serta berjalan di atas manhaj salaf ash-Sholih (makalah Asbab al-Wiqayah Minal Fitan, Syekh Abdullah al-‘Ubailan dalam Majalah Ummatie, Kuwait, edisi 16- bulan Desember 2005 Dzul Qa’dah 1426H hal 6), karena berpegang teguh kepada al-Kitab dan Sunah adalah jalan mencapai kejayaan, keselamatan, dan kemenangan di dunia dan akhirat.
Imam Malik telah berkata: “Sunah Nabi adalah perahu Nabi Nuh, siapa yang menungganginya maka selamat dan siapa yang meninggalkannya maka binasa dan tenggelam.” (Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005 Rabiul Awal 1426H edisi 10 hal 18)
Hal ini dijelaskan Rasululloh dalam hadis al-‘Irbaadh bin Saariyah yang berbunyi:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Karena siapa yang hidup setelahku dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk konsisten dengan sunahku dan sunah para penggantiku yang berilmu dan beramal (Khulafa’ al-Mahdiyyin al-Rasyidin). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, dan selainnya)
Syekh Abdurrazaq al-‘Abad menyatakan: “Keselamatan ketika terjadi perselisihan dan selamat dari fitnah hanya ada dengan berpegang teguh kepada sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menjauhi hawa nafsu, dan kebid’ahan dan berhukum dengan sunah pada dirinya dalam perkara yang ia lakukan dan tinggalkan baik berupa gerakan, diam, tegak, duduk, dan seluruh sisi kehidupannya. Siapa yang keadaaannya demikian maka insya Allah akan terlindungi dan terjaga dari seluruh kejelekan, bencana, dan fitnah. Sedangkan orang yang membiarkan dirinya bebas dan membiarkan hawa nafsunya menjadi pengendali maka ia telah menjerumuskan dirinya dan orang lain dari hamba Allah dalam kejelekan.” (Ibid)
3. Lemah lembut, tenang, tidak tergesa-gesa, dan berpikir yang jauh tentang akibat dari semua yang dilakukannya. Karena ketergesa-gesaan tidak membawa kebaikan sedangkan pada sikap perlahan ada kebaikan dan barokah. Siapa yang tergesa-gesa dalam urusannya dan sembarangan dalam perilakunya, maka dirinya tidak aman dari ketergelinciran dan terjerumus dalam penyimpangan. Sedangkan orang yang lemah lembut, sabar, dan jauh dari sikap tergesa-gesa, ngawur, dan nekat serta selalu memperhitungkan akibat perbuatannya, maka ia insya Allah akan sampai pada hasil yang membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud berkata: “Akan muncul perkara musytabihat (samar-samar), maka kalian harus berlaku pelan-pelan, karena kamu menjadi pengikut dalam kebaikan lebih baik dari menjadi pemimpin dalam kejelekan.” (Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005 Rabiul Awal 1426H edisi 10 hal 18)
Sungguh orang yang terburu-buru mengatasi permasalahan dan tidak sama sekali mengambil cara perlahan-lahan membuka pintu kejelekan untuk dirinya dan orang lain dan bertanggung jawab atas dosanya dan menuai hasil buruk. Dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh ada di antara orang yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejelekan dan sungguh ada di antara orang yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci pembuka kebaikan melalui tangannya dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci pembuka kejelekan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)
Seorang yang berakal senantiasa berhati-hati, melihat jauh ke depan, sabar, lembut dan perlahan serta jauh dari sikap ngawur, tergesa-gesa, dan nekat. Karena ketergesaan, nekat, dan sikap ngawur hanya memberikan akibat buruk dan bahaya serta hasil yang jelek. (Dari pernyataan Syekh Abdurrazaq bin Abdilmuhsin al-‘Abad dalam Majalah Ummatie, Kuwait, Mei 2005 Rabiul Awal 1426H edisi 10 hal 18)
4. Bersatu dan konsisten bersama jamaah muslimin dan imam mereka serta jauh dari perpecahan dan perselisihan. Hal ini karena perpecahan adalah jelek dan jamaah adalah rahmat. Dengan jamaah menghasilkan kekuatan besar muslimin, kuat ikatan persaudaraan, kuat kewibawaan, dan terealisasi persatuan mereka. Juga dengan jamaah terjadi sikap kerjasama di antara mereka dalam kebaikan dan takwa serta perkara yang dapat mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Sedangkan perselisihan mengantar mereka kepada banyak kejelekan, bahaya yang beraneka ragam, dan bencana yang tidak diharapkan. Oleh kareana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat untuk konsisten bersama jamaah dan memperingatkan dari perpecahan. Di antaranya sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Jamaah itu rahmat dan perpecahan itu azab.” (HR. Ahmad dan Syekh al-Albani menilainya hadis yang hasan dalam Shohih al-Jaami’ no. 3109) dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Janganlah berselisih, karena orang sebelum kalian berselisih lalu binasa.” (HR. al-Bukhori)
Demikian juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiati kaum muslimin untuk bersatu dan konsisten dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka, sebagaimana dijelaskan dalam hadis al-Irbadh bin Saariyah yang berbunyi:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Rasululloh mengimami kami sholat pada satu hari, kemudian beliau menghadap kami dan memberikan nasihat yang menyentuh; membuat mata meneteskan air mata, dan hati-hati bergetar. Maka seorang berkata: Wahai rasululoh! Seakan-akan nasihat ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Maka beliau bersabda: Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar, dan patuh, walaupun (yang memimpin) adalah budak habasyi.” (HR Abu Daud dan al-Tirmidzi, dan selainnya)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis ini menyatukan sebab-sebab kebahagiaan dunia dan akhirat dalam dua perkara yang tidak ada ketiganya, yaitu:
Pertama: Konsisten dalam ketakwaan.
Kedua: Konsisten berpegang teguh jamaah muslimin dan mentaati imam mereka.
Harus melaksanakan dua ketentuan pokok ini di atas pemahaman salaf ash-Sholih. Inilah salah satu pelindung kita dari fitnah-fitnah –dengan izin Allah- dan inilah jalan persatuan ketika terjadi perpecahan. (Al-Fitnah Wa Mauqif al-Muslim Minha, DR. Muhammad bin Abdulwahab al-‘Aqiel, hal.100-101)
5. Mengambil ilmu dan fatwa dari ulama besar dan tidak mengambil dari orang-orang kerdil yang baru menimba ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ
“Barokah ada bersama tokoh-tokoh tua mereka.” (HR. Ibnu Hiban, al-Hakim, Abu Nu’aim, dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syekh al-Albani menilai hadis ini shohih dalam Shohih al-Jami no. 2884, Silsilah al-Ahadis Shohihah no.1778 (4/380)).
Barokah ada bersama tokoh-tokoh tua mereka yang telah kokoh dalam ilmu dan telah lama menuntutnya serta mereka telah mendapatkan kedudukan pada umat dengan sebab ilmu, hikmah yang luhur, sikap perlahan, dan pandangan yang jauh ke depan yang Allah karuniakan pada mereka. Kita diperintahkan mengambil ilmu dan fatwa dari mereka sebagaimana firman Allah:
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا (٨٣)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. 4:83)
Syekh Abdurrahman al-Sa’di menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “Ini adalah pelajaran dari Allah kepada hamba-Nya atas kelakuan mereka yang tidak pantas. Seharusnya mereka bila mendapatkan perkara penting atau kemaslahatan umum yang berhubungan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin atau kekhawatiran yang menjadi musibah bagi mereka, hendaknya mengadakan klarifikasi dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut. Seharusnya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan ulul amri mereka yaitu para ulama yang mengetahui perkara dan mengetahui kemaslahatan dan madhoratnya (untuk masyarakat).” (Taisir al-Kariem al-Rahman)
Imam al-Ashbahani menegaskan pentingnya hal ini dalam pernyataan beliau: “Siapa yang melihat dengan pandangan adil, niscaya mengetahui tidak ada seorangpun yang paling jelek mazhabnya dari orang yang meninggalkan firman Allah, sabda Rasululloh, pendapat para sahabat, dan pendapat para ulama dan ahli fiqih setelah mereka (Sahabat) dari mereka yang membangun mazhab dan agamanya di atas Kitabullah (al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti orang yang tidak alim terdahap al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana ia merasa aman tidak menjadi pengikut setan.” (Al-Hujjah Fi Bayan al-Mahajjah 1/311)
Barang siapa yang merujuk dan menyerahkan kepada mereka maka aman dari fitnah dan mendapat akibat baik.
6. Perbaiki hubungan dengan Allah dan berdoa kepada-Nya. Karena doa adalah kunci semua kebaikan di dunia dan akhirat, apalagi meminta kepada Allah untuk menjauhkan kaum muslimin dari fitnah yang tampak dan yang tersembunyi dan berlindung kepada-Nya dari fitnah yang besar, karena siapa yang memohon perlindungan kepada Allah niscaya Ia lindungi dan siapa yang memohon kepada Allah niscaya Ia beri, karena Allah tidak membiarkan hambanya berdoa tanpa hasil dan tidak akan menolak hamba-Nya yang memanggil-Nya. Dialah yang berfirman:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ (١٨٦)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. 2:186)
Sebab di antara sebab munculnya fitnah adalah munculnya kesyirikan dan kemaksiatan, sehingga sudah seharusnya ketika muncul fitnah, kita kembali bertaubat dan memanjatkan doa kepada Allah untuk menghilangkannya.
Imam al-Hasan al-Bashri dahulu menyatakan: Sungguh al-Hajjaj adalah azab Allah, maka janganlah menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian. Namun hendaknya kalian beribadah dan memanjatkan doa dengan kerendahan diri, karena Allah berfirman:
وَلَقَدْ اَخَذْنٰهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوْا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُوْنَ (٧٦)
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (QS. 23:76) (Dibawakan dalam makalah Asbab al-Wiqayah Minal Fitan, Syekh Abdullah al-‘Ubailan menukil dari pernyataan Ibnu Taimiyah)
Hendaknya memperbanyak doa kepada Allah agar dihilangkan fitnah yang ada sebagaimana dilakukan kaum Nabi Yunus yang Allah ceritakan dalam firman-Nya:
اِنَّ الَّذِيْنَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ (٩٦) وَلَوْ جَاۤءَتْهُمْ كُلُّ اٰيَةٍ حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ (٩٧) فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ اٰمَنَتْ فَنَفَعَهَآ اِيْمَانُهَآ اِلَّا قَوْمَ يُوْنُسَۗ لَمَّآ اٰمَنُوْا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنٰهُمْ اِلٰى حِيْنٍ (٩٨)
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfa’at kepadanya selain kaum Yunus tatkala mereka (kaum Yunus itu),beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai pada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus 10: 97-98)
Ibnu Katsier dalam menafsirkan ayat ini menyatakan: “Yang dimaksud, tidak ada satu (penduduk) satu kota yang beriman seluruhnya kepada nabi mereka dari (penduduk) satu kota terdahulu kecuali kaum Nabi Yunus, iman mereka hanya karena takut datangnya azab yang telah rasul mereka peringatkan setelah mereka mengerjakan sebab-sebabnya (azab) dan rasul mereka (Yunus) pergi meninggalkan mereka. Lalu ketika itu mereka berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah, memohon pertolongan, merendahkan diri dan tunduk serta mengeluarkan anak-anak, binatang ternak dan gembalaan mereka dan memohon kepada Allah untuk menolak azab yang telah diperingatkan nabi mereka. Ketika itu pulalah Allah merahmati mereka dan menghilangkan azab dari mereka dan mengakhirkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/414)
Demikianlah di antara perkara yang harus diperhatikan seseorang agar terhindar dari fitnah.
Semoga Allah menjauhkan kita dari fitnah yang tampak dan tersembunyi. Wallahu a’lam.
Referensi:
Beri Komentar