Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah tentang air musta’mal: Jika seseorang berwudhu dengan air, lalu orang lain berwudhu dengan air itu, baik darurat atau tidak, apakah boleh?
Jika airnya ditampung, lalu seseorang berwudhu dengannya, lalu tersisa, dan cukup untuk wudhu orang yang kedua, maka pendapat yang benar adalah tidak mengapa, tidak najis, dan tidak hilang kesuciannya. Pendapat yang benar adalah air tersebut tetap thohur (suci dan mensucikan). Jika ada orang lain yang berwudhu dengannya, dan air itu terkumpul di satu bejana, maka sah wudhunya.
Sebagian ulama berkata: “Air itu suci, tapi tidak mensucikan sehingga tidak sah bersuci dengannya”. Pendapat ini tidak berpegang pada dalil. Pendapat yang benar adalah air tersebut tetap thohur (suci dan mensucikan). Jika seseorang bersuci dari telaga kecil, atau dari bejana besar , kemudian menuangkan air sucinya ke bejana lain, dan orang lain berwudhu dengannya, tidak ada masalah.
Maksudnya adalah jika air yang telah digunakan untuk bersuci kemudian air tersebut tertampung dalam bejana dan seseorang mandi atau berwudhu dengannya, maka tidak ada salahnya jika tidak ada najis, yakni (orang yang lebih dulu menggunakannya) hanya mencuci wajah, lengan, mengusap kepala, mencuci telinganya, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal ini tidak menajiskan air tersebut dan tidak menghilangkan kesuciannya.
Namun meninggalkannya, yakni berwudhu dengan air bersih ( bukan bekas digunakan), untuk menghindari perselisihan, akan lebih baik. Juga dalam rangka mengamalkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك.
“Tinggalkan apa yang membuatmu ragu-ragu, dan lakukan apa yang tidak membuat Anda ragu”
Sumber: https://shorturl.at/BNQbz
Ditulis oleh Ust Slamet Nur Raharjo M. Pd
Beri Komentar