Sholat yang merupakan rukun Islam tidak menjadi sah jika tanpa wudhu. Nabi bersabda: Allah tidak menerima sholat seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu” (HR. Bukhari, 6954)
Karena pentingnya ibadah wudhu tersebut, kami sajikan kepada para pembaca pembahasan tentang tata cara wudhu sesuai petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan para pembaca sekalian dan semoga Allah menjadikan risalah ini sebagai pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak.
Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah: 5)
Dari Humron bahwa ia melihat Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu minta air wudhu lalu berwudhu. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya. Lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, begitu pula dengan tangan kirinya. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya. Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam hati pada kedua raka’at tadi, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari, 164)
Niat merupakan syarat sah ibadah. Karena amal itu tergantung pada niatnya. Demikian pula ibadah wudhu tidak sah tanpa ada niat. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya”. Namun demikan para ulama berbeda pendapat apakah niat merupakan syarat sah wudhu ataukah bukan. Madzhab hanbali berpendapat bahwa niat adalah syarat sah wudhu, madzhabhanafi menyatakan niat adalah sunnah wudhu. Adapun syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa niat adalah salah satu dari rukun-rukun wudhu. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa niat termasuk syarat sah wudhu, sebagaimana hadits tentang niat di atas. (Fikih Muyassar, 61-62)
Dalam sebuah hadits disebutkan: “tidak ada wudhu bagi siapa saja yang tidak menyebut nama Allah” (HR. Tirmidzi). Para ulama menilai hadits ini dhoif. Tidak ada satupun hadits shahih yang membahas tentang tasmiyah (ucapan bismillah tan arrahmanirrahim) dalam berwudhu. Akan tetapi Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsir surat al-Maidah menyebutkan banyak atsar tentang hal ini, hanya saja semuanya dhoif. Imam Ahmad dan Ibnu Katsir mengatakan bahwa riwayat-riwayat tersebut saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hasan lighairihi (Hasan disebabkan dikuatkan dengan yang lainnya). Maka Imam Ahmad menyatakan bahwa harus tasmiyah sebelum wudhu jika ingat. Adapun jika lupa maka tidak mengapa. Jumhur Ulama berpendapat tasmiyah sebelum wudhu hukumnya mustahab, karena hadits yang menjelaskan tentang hal itu derajatnya dhoif. (Syarh Jami’ Tirmidzi lir Rojihy, 4/4)
Tujuan dari mencuci kedua telapak tangan adalah untuk membersihkannya yang mana keduanya merupakan alat untuk membasuh dan mengusap anggota wudhu. Maka membasuhnya tidaklah wajib kecuali saat usai bangun tidur. (Syarhu Umdatil Ahkam Libni Jibrin 35/1). Dari Abu hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, janganlah mencelupkan kedua tangannya ke bejana sampai ia mencucinya tiga kali. Karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana kedua tangannya bermalam (HR. Muslim, 176)
Dalam hadits riwayat humran di atas telah jelas bahwa setelah mencuci telapak tangan Nabi melakukan al-madh-madhotu (berkumur-kumur), al-istinsyaaqu (menghirup air ke dalam hidung), dan al-istinsyaar (menyemburkannya). Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Apakah hukumnya sunnah ataukah wajib. Syeikh ibn Jibrin mengatakan: dan yang rajih adalah bahwa berkumur dan menghirup air ke dalam hidung bagian dari sempurnanya wudhu dan merupakan bagian dari sempurnanya membasuh wajah. Meskipun banyak ulama yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah, dalil-dalil menunjukkan bahwa hal tersebut wajib, dan orang yang berwudhu dan sengaja tidak berkumur-kumur atau tidak menghirup air ke dalam hidung maka ia harus mengulangi wudhunya karena ia telah meninggalkan bagian dari anggota-anggota wudhu. Kemudian orang-orang yang meriwayatkan tata cara wudhunya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa berkumur dan menghirup air ke hidung. Dan beliau juga memerintahkannya sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, seperti sabda beliau: “jika berwudhu maka berkumur-kumurlah!”, dan juga sabdanya: “dan bersungguhu-sungguhlah dalam al-istinsyaaq kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa”, maka di sini terdapat perintah wudhu dan berkumur serta menghirup air ke dalam hidung.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya sunnah dan tidak wajib beralasan bahwa hal itu tidak ada di dalam Al-Qur’an tapi yang Allah perintahkan hanya membasuh wajah dan yang disebut wajah adalah yang nampak jika berhadapan, sedangkan lubang hidung demikian pula rongga mulut itu tersembunyi maka tidak bisa nampak saat berhadapan. Akan tetapi pendapat mereka ini terbantahkan, karena perintah membasuh wajah itu bersifat global dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya dan menyebutkan bahwa di antara kesempurnaan wudhu adalah adanya al-madh-madhotu (berkumur-kumur), al-istinsyaaqu (menghirup air ke dalam hidung).” (Syarah Umdatul Ahkam libni Jibrin, 36/1). Kemudian setelah panjang lebar menjelaskan hal ini beliau mengatakan: “ maka kesimpulanya bahwa al-madh-madhotu (berkumur-kumur), al-istinsyaaqu (menghirup air ke dalam hidung) hukumnya wajib sebagaimana telah jelas pada hadits-hadits yang isinya Rasulullah memperinci apa yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat wudhu” (ibid)
Membasuh wajah dalam berwudhu adalah di antara rukun-rukun wudhu. Rukun yakni sesuatu yang merupakan bagian inti dari sesuatu. Jika salah satu saja tidak ada maka ibadah tidak sah. Hal ini sebagaimana secara terang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6 yang terjemahannya kami sebutkan di awal pembahasan ini. Adapun melakukannya tiga kali ini adalah sunnah sebagimana dalam membasuh anggota wudhu lainnya yang wajib adalah cukup sekali. Seperti berkumur dan menghirup air ke hidung, membasuh tangan membasuh kaki. (lihat Fikih muyassar, 82/1)
Adapun berkaitan dengan batasan wajah, wajah yang merupakan anggota wudhu batasnya adalah: batas atas dan bawah tempat tumbuhnya rambut yaitu bagian atas kening dan bagian bawah dagu. maksud tumbuhnya rambut di sini adalah secara mayoritas laki dewasa yang mereka ada jenggotnya. jadi untuk wanita dan anak kecil batas wajah bagian bawah adalah dagunya, meskipun tidak tumbuh rambut di sana. Adapun batas wajah bagian samping adalah bagian telinga yang dasar (yakni yang menempel ke wajah) (Lihat Syarah Umdatul Ahkam libni Jibrin, 37/1)
Bagi yang berjenggot sunnah baginya untuk menyela-menyela jenggot jika jenggotnya tebal. Jika jenggotnya tipis dan terlihat kulit dagunya, maka wajib untuk membasuhnya.(Syarh Jami’ Tirmidzi lir Rojihy, 7/4)
Ini juga merupakan rukan wudhu berdasarkan ayat di atas. Dan yang dibasuh adalah dari ujung jari hingga siku tangan kanan tiga kali kemudian tangan kiri tiga kali sebagaimana hadits di atas.
Yang benar siku adalah bagian dari lengan yang perlu untuk kita membasuhnya. Sebagaimana pada ayat tersebut di atas dan Nabi juga melakukan hal itu sebagaimana dalam hadits dari humran di atas. selain itu juga terdapat riwayat dari tholhah bahwa nabi mengalirkan air memutar pada sikunya, maka ini menunjukan bahwa siku termasuk anggota tubuh yang harus kita basuh saat wudhu bersama lengan. (Lihat Syarah Umdatul Ahkam libni Jibrin, 38/1).
Sebagian orang berpendapat tidak perlu lagi membasuh telapak tangan dengan alasan sudah membasuhnya di awal wudhu sebelum membasuh wajah (yakni berkumur-kumur). Pendapat ini keliru karena yang pertama adalah sunnah sedangkan yang ini harus, maka tidak cukup membasuhnya saat pertama saja. Tapi harus membasuhnya lagi dari ujung jari kemudian membasuh sela-sela jari dan membasuh lengan (hingga siku). (ibid).
Mengusap kepala juga merupakan rukun wudhu berdasar ayat di atas. Dan perlu diketahui bahwa mengusap itu beda dengan membasuh. Dalam ayat dan hadits di atas disebutkan dengan kata masaha, yakni tanpa mengalirkan air pada kepala tapi dengan mmbasahi tangan kemudian mengusapkannya pada kepala dan hanya sekali usap.
Cara mengusap kepala dalam berwudhu ini terdapat penjelasannya dalam hadits yang Abdullah bin Zaid, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengusap kepala dengan kedua tangan beliau dari bagian depan kepala hingga bagian tengkuk kemudian diusapkan kembali kedepan hingga di tempat semula yaitu bagian depan kepala. (Syarh Jami’ Tirmidzi lir Rojihy, 2/5). Setelah itu lanjut dengan mengusap kedua telinga.
Perintah mengusap telinga ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Seorang yang berwudhu dan tidak mengusap telinganya maka tidak sah wudhunya, karena kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka hendaknya mengusap bagian dalam telinga dengan kedua jari telunjuk dan bagian luar telinga dengan kedua ibu jari. (Syarh Jami’ Tirmidzi lir Rojihy, 7/5)
Membasuh kaki juga merupakan rukun wudhu berdasarkan ayat tersebut di atas. Dan batasnya adalah sampai mata kaki. Bermula dari kaki kanan tiga kali kemudian kaki kiri tiga kali sebagaimana hadits tersebut di atas. Maksud sampai mata kaki adalah sampai bagian atas mata kaki yakni yang dekat dengan betis, hal ini untuk kehati-hatian agar tidak terkena ancaman Nabi: “celakalah tumit yang tidak terbasuh air wudhu (celaka karena mendapat) siksa neraka”. Ini menegaskan akan wajibnya membasuh kaki sehingga tidak ada sikap bermudah-mudahan dalam membasuh kaki ketika berwudhu. (Lihat Syarah Umdatul Ahkam libni Jibrin, 40/1)
Setelah selesai berwudhu Nabi mencontohkan untuk membaca Asy-hadu Allaa ilaaha illallaah. Wahdahu laa syariikanlah wa Asy-hadu Anna Muhammadan ‘abduhu warasuluh. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan haq kecuali Allah saja dan tidak ada sekutu baginya dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba dan utusannya ( Fikih Muyassar 78)
Anggota wudhu yang Allah perintahkan kita untuk membasuhnya tiga kali tetap sah jika hanya sekali, jika dua kali maka itu lebih afdhol daripada hanya sekali dan jika tiga kali maka itu lebih sempurna. Adapun jika lebih dari tiga kali maka tidak boleh karena tidak ada dalil yang menunjukan hal itu. Bahkan dalil yang ada adalah larangan berlebih-lebihan dalam menggunakan air saat berwudhu. (Lihat Syarah Umdatul Ahkam libni Jibrin, 41/1).
Tata cara wudhu tersebut haruslah secara berurutan sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6. Selain harus berurutan, tata cara wudhu itu juga harus secara beruntun, yakni tanpa ada jeda antara membasuh satu anggota ke anggota wudhu berikutnya. (Lihat Mulakhosh Fiqh, 42-43)
Ditulis oleh Ust Slamet Nur Raharjo M. Pd
Beri Komentar